MENGUPAS KOMPLEKSITAS REKAPITULASI DI TINGKAT KECAMATAN PADA PEMILU 2019
Lewat tulisan ini, penulis mencoba menguraikan dan mereview proses rekapitulasi pada Pemilu Serentak 2019 khususnya ditingkat kecamatan. Sama-sama kita ketahui, sesuai UU Nomor 7 Tahun 2017 pasca pelaksanaan pemungutan dan penghitungan di Tempat Pemungutan Suara (TPS) maka proses selanjutnya beralih di tingkat kecamatan.
Pada proses rekapitulasi di tingkat Kecamatan, ada beberapa hal menarik yang bisa dicermati, pertama, rekapitulasi di Kecamatan menuntut ketersediaan tempat yang luas, memadai dan representatif. Ketersediaan ruangan yang cukup diperlukan dalam rangka menampung atau menyimpan kotak suara dari semua TPS dari seluruh wilayah di kecamatan tersebut. Kedua, pelaksanaan rekapitulasi harus dilaksanakan dengan metode lebih dari satu panel untuk mempercepat dan mengefisiensikan waktu. Hal ini tentu kembali berimbas pada ketersediaan tempat, baik untuk kotak suara maupun untuk panel yang dibuat.
Ketiga, membludaknya massa dari simpatisan partai politik dan peserta pemilu, saksi, pengurus partai dan masyarakat umum yang ingin menyaksikan rakapitulasi. Kondisi ini tentu harus disikapi dengan penambahan pengamanan dan tentunya juga berimbas pada membengkaknya anggaran yang dikeluarkan. Keempat, dengan hiruk pikuk proses yang berlangsung, membuat penyelesaian permasalahan rekapitulasi justru kurang terkoordinasikan dengan baik. Kelima, rekapitulasi di kecamatan cukup menyita waktu dan pikiran karena mengakumulasi sekaligus menyelesaikan permasalah-permasalahan yang datang dari TPS. Dan yang terakhir (keenam) beban administrasi yang luar biasa banyak.
Beberapa hal tersebut menarik untuk dianalisa agar proses rekapitulasi untuk tingkat kecamatan lebih baik di pemilu berikutnya. Termasuk juga bagaimana mereview sistem rekap manual yang diwacanakan akan berganti menjadi berbasis elektronik e-rekap.
Sistem Rekapitulasi Pemilu 2014
Pada Pemilu 2014 sistem pemilu yang digunakan mengacu pada Undang-undang (UU) No 2/2008-No 2/2011, UU No 15/2011 dan UU No 8/2012. Sistem rekapitulasi dilaksanakan berjenjang mulai dari TPS dilanjutkan tingkat kelurahan oleh PPS dibantu KPPS yang dipilih dengan peserta para saksi partai politik dan calon, PPL, PTPS dan undangan.
Usai dari sana rekapitulasi dilaksanakan ditingkat kecamatan oleh PPK dibantu oleh PPS dengan peserta saksi partai politik dan calon, panwascam, PPL dan undangan. Setelahnya naik satu tingkat rakapitulasi untuk kabupaten/kota yang dilaksanakan oleh KPU kab/kota dibantu PPK dengan peserta para saksi partai politik dan calon, panwas kota, panwascam dan undangan.
Pada Pemilu 2014 rekapitulasi ditingkat kelurahan merekap C-1 dari setiap TPS. Segala permasalahan di TPS akan selesai sesuai tahapannya dan baru berlanjut ke tingkat kecamatan atau PPK dan seterusnya sampai tingkat nasional.
Sistem seperti ini nampaknya berjalan dengan baik pada sisi pelaksanaan, tempat, waktu, pengelompokan massa, anggaran dan sebagainya. Meskipun ada beberapa analisa yang kemudian menyebut banyaknya tingkatan rekapitulasi semakin membuka potensi terjadinya kecurangan, walau menurut analisa penulis tidak selamanya benar sebab kecurangan tergantung niat dan integritas dari penyelenggara ataupun peserta pemilu. Walau pada akhirnya alasan inilah yang kemudian dijadikan dasar untuk mengubah sistem dengan menghilangkan rekapitulasi di tingkatan kelurahan.
Kompleksitas Rekapitulasi di Kecamatan pada Pemilu 2019
Seperti dijelaskan diatas, kompleksitas rekapitulasi di kecamatan dimulai dari penyediaan tempat yang memadai dan representatif, pengoranisasian logistik dan pengorganisasian saat acara rekapitulasi.
Bagi kabupaten/kota yang menetapkan dapil DPRD berdasarkan wilayah kecamatan, maka penentuanya adalah rekapitulasi ditingkatan ini. Karena pelaksanaan rekapitulasi ini sudah menentukan perolehan masing-masing partai dan caleg yang langsung bisa di konversi menjadi kursi bagi calon DPRD kab/kota. Maka sudah barang tentu proses di kecamatan ini menjadi pusat perhatian massa bagi caleg dan pendukungnya, partai politik dengan simpatisanya atau calon presiden dan wakil presiden dengan tim suksesnya. Pengumpulan massa tidak bisa dihindari lagi, meskipun tidak bisa mengikuti acara secara resmi di dalam ruangan.
Namun kondisi demikian menjadi keresahan pihak stakeholder dalam hal ini adalah pemangku wilayah Kecamatan dalam hal anggaran baik penyediaan konsumsi dan keamanan. Apalagi proses ini memakan waktu yang cukup lama, belum lagi yang harus melaksanakan rekomendasi Bawaslu untuk melaksanakan Pemungutan Suara Lanjutan (PSL) dan Pemungutan Suara Ulang (PSU). Maka rekapituasi harus menunggu pelaksanaan selesai sehingga hasilnya bisa masuk dalam rekapitulasi di tingkat kecamatan tersebut secara keseluruhan.
Hemat penulis, hal ini akan berbeda jika massa akan terurai dan tersebar di setiap kelurahan-kelurahan seperti saat pemilu-pemilu sebelumnya. Tanggungjawab secara kewilayahan baik secara tempat dan keamanan juga akan terbagi kepada masing-masing kelurahan.
Ketersediaan tempat yang memadai menjadi problem tersendiri bagi PPK dan stakeholder di kecamatan yang tidak mempunyai tempat yang luas. Bisa dihitung TPS dalam satu kecamatan dengan lima kotak setiap TPS. Semua kotak harus dibawa ke kecamatan karena terkait dengan dokumen yang ada didalamnya saat ada permasalahan dalam rekapitulasi baik yang berisi plano, daftar hadir, surat suara maupun dokumen lain. Semua kotak tersimpan di wilayah kecamatan. Kondisi ini sebenarnya akan terurai jika terbagi dalam masing-masing kelurahan. Maka yang ada dikecamatan hanya kotak hasil rekapitulasi dari kelurahan-kelurahan dalam satu kecamatan.
Proses rekapitulasi dibagi menjadi dua tahap. Pertama rekapitulasi tingkat kelurahan, yaitu merekap setiap TPS dalam satu kelurahan. Setelah semua keluarahan selesai, baru dilanjutkan dengan rekapitulasi tingkat kecamatan dengan merekap hasil masing-masing kelurahan. Hasil dari proses simulasi-simulasi yang dilakukan, maka proses rakapitulasi di kecamatan diharuskan dengan sistem panel. Karena rekapitulasi cukup memakan waktu yang lama, sehingga solusinya adalah sistem panel. Sistem panel menyelesaikan masalah, tapi menuntut ketersediaan tempat dan pembagian SDM dari penyelenggara yaitu PPK, PPS, dan panwascam. Begitu juga dengan peserta pemilu dalam memandatkan saksi harus sesuai dengan jumlah panel yang ada.
Bagi yang mempunyai tempat memadai mungkin tidak masalah, tetapi bagi yang tidak maka menjadi problem baru karena selain harus menyimpan kotak surat suara juga harus menyediakan panel-panel dalam rekapitulasi. Maka yang terjadi adalah banyak tempat yang dipaksakan sehingga kurang representatif untuk melaksanakan panel secara bersamaan. Akibatnya hiruk pikuk dan ramainya suasana masing-masing panel mewarnai proses jalanya rekapitulasi. Hal ini tentu berbeda ketika hanya ada satu panel rekapitulasi.
Hiruk pikuk semakin terlihat ketika proses rekapitulasi ada permasalahan baik saat rakapitulasi dari TPS dalam satu kelurahan maupun dari kelurahan dalam satu Kecamatan. Namun yang paling banyak adalah saat rekapitulasi awal yaitu yang merekap masing-masing kelurahan karena banyaknya permasalahn dari TPS-TPS yang ada. Hal ini wajar karena prinsipnya adalah “harus menyelesaikan permasalahan dari bawah dan tidak membawa masalah ke atas.” Artinya permasalahan harus selesai pada tingkatannya.
Diketahui bersama bahwa kompleksitas rekapitulasi pemilu 2019 tidak serta merta terjadi pada rekapitulasi di Kecamatan. Namun hal ini berasal dari kompleksitas di TPS. Kompleksitas di TPS adalah kompleksitas administrasi. Lamanya waktu yang diperlukan di TPS adalah karena beban administrasi yang cukup banyak. Selama melaksanakan pemilu, waktu pemungutan suara selalu sama yaitu jam 07.00-13.00, waktu selanjutnya adalah untuk penghitungan dan menyelesaikan administrasi. Ini artinya jika pemilu serentak 2019 membutuhkan waktu yang sangat lama adalah untuk penghitungan dan menyelesaikan adminintrasi. Dalam sejarah pemilu Indonesia, baru pada pemilu serentak 2019, proses pelaksanaan pungut hitung di TPS, ada yang membutuhkan waktu lebih dari 24 jam.
Kompleksitas administrasi ini pada akhirnya menyisakan masalah yang tidak tuntas hingga muncul pada rekapitulasi di tingkat Kecamatan. Sehingga beban berat rekapitulasi di tingkat kecamatan adalah harus menyelesaikan permasalahan yang berasal dari TPS dan harus selesai sebelum rekapitulasi ke tingkat Kota. Belum lagi beban administrasi yang luar biasa banyak yang ditanggung saat rekapitulasi di PPK.
Beban administrasi baik di TPS maupun di PPK ada dua kategori besar, yaitu penyelesaian administrasi dan penggandaan. Terkait penyelesaian administrasi meliputi input data awal, hasil dan tanda tangan. Sedangkan penggadaan meskipun ada regulasi tentang dibolehkanya penggunaan alat elektronik seperti foto copy, tetapi prakteknya sangat susah terkait ketersediaan alatnya, apalagi kalau di daerah yang terpencil. Maka beban administrasi ini menjadi catatan yang sangat besar porsinya dalam proses rekapitulasi di kecamatan maupun penghitungan di TPS.
Sebagai kesimpulan penulis, sistem rakapitulasi di Kecamatan pada pemilu 2019 menyisakan permasalahan yang sangat komplek. Hal ini seiring sejalan dengan permasalahan punghitungan di TPS yang akhirnya mencatatkan pemilu dengan waktu di TPS terlama sepanjang sejarah pemilu di Indonesia. Salah satu poin pokok yang menjadi catatan adalah kompleksitas dan banyaknya beban administrasi serta banyaknya penggandaan hasil. Kedua Jika tetap menghilangkan rekapitulasi di tingkat Kelurahan maka E-rekapitulasi menjadi solusi yang tepat. Jika tidak maka mengembalikan rakapitulasi secara berjenjang mulai dari Kelurahan akan membantu mengurai permasalahan-permasalahn yang timbul seperti dijabarkan diatas.
Wallahu a’lam….#salamdemokrasi
oleh: Abd Rohim
Divisi Sosialisasi, Parmas dan SDM KPU Kota Salatiga