SURAT SUARA TIDAK SAH DAN KERENGGANGAN RELASI KANDIDAT – PEMILIH
Pemilu serentàk 2019 sudah usai. Semua tahapan dilalui dengan sukses. Berbagai pihak mengapresiasi baik di dalam maupun luar negeri. Pemilu berjalan damai, partisipasi pemilih tinggi dan jumlah sengketa pemilu rendah. Partisipasi secara nasional di atas 82 persen, melampaui target 77,5 persen. Capaian ini diikuti angka partisipasi di mayoritas daerah yang rata-rata di atas 80 persen. Kota Salatiga ada di angka partisipasi tertinggi di Jawa Tengah. Untuk pemilu presiden dan wakil presiden partisipasi pemilih (87,91 persen), DPR RI (87,85 persen), DPD (87,81 persen), DPRD provinsi (87,51 persen) dan DPRD Kota Salatiga (87,40 persen).
Ada lima jenis pemilihan dengan lima surat suara pada pemilu 2019 yang diterima pemilih, kecuali bagi pemilih pindahan dan yang masuk kategori daftar pemilih khusus (DPK), maka ada ketentuan jumlah surat suara yang diterima. Fenomena yang terjadi adalah persentase surat suara yang tidak sah sangat bervariatif dan ada perbedaan yang mencolok. Data di KPU Kota Salatiga menunjukkan surat suara tidak sah untuk pemilihan presiden dan wakil presiden rendah, hanya 2,15 persen, tetapi surat suara tidak sah untuk pemilihan DPD cukup tinggi, 24,10 persen. Surat suara tidak sah untuk pemilihan DPRD Kota Salatiga hanya 4,65 persen, tetapi untuk pemilihan DPR RI mencapai 13,53 persen , pemilihan DPR provinsi 16,69 persen.
Kecenderungan ini serupa dengan yang terjadi di kabupaten/kota lain. Secara nasional, surat suara tidak sah untuk pemilihan presiden dan wakil presiden sebesar 2,38 persen dan di Provinsi Jawa Tengah 2,71 persen. Sementara surat suara tidak sah untuk pemilihan DPD Provinsi Jawa Tengah mencapai 26,52 persen. Kalau diperingkat sesuai urutan jumlah surat suara tidak sah dari yang tertinggi adalah DPD, DPR provinsi, DPR RI, DPRD kabupaten/kota, lalu pemilihan presiden dan wakil presiden.
Mengapa ada jenis surat suara tak sah rendah dàn ada yang tinggi? Apakah ketika pemilih datang di tempat pemungutan suara (TPS) tahu akan mendapatkan lima surat suara? Apakah mereka kesulitan tata cara mencoblos? Apakah mereka tidak tahu atau kebingungan harus memilih caleg yang mana dari partai apa? Atau mereka datang ke TPS hanya ingin memilih salah satu jenis pemilihan, sehingga surat suara yang lain sengaja dirusak dan menjadi tidak sah? Pertanyaan-pertanyaan soal perilaku pemilih dalam pemilu 2019 ini menjadi diskursus tersendiri.
Perilaku Pemilih
Perilaku pemilih (voting behavior) sebagaimana diungkapkan J. Kristiadi (1996: 76) adalah keterikatan seseorang untuk memberikan suara dalam proses pemilihan umum berdasarkan faktor psikologis, sosiologis, dan rasional pemilih. Sementara menurut A.A. Oka Mahendra (2005: 75) perilaku pemilih adalah tindakan seseorang ikut serta dalam memilih orang, partai politik atau isu publik tertentu. Dari konsep yang dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa perilaku pemilih merupakan tindakan pemilih terkait pemilihan langsung dalam sebuah pemilu atau pemilihan.
Ramlan Surbakti (1999: 145) memandang perilaku pemilih merupakan bagian dari perilaku politik yang menggambarkan keikutsertaan warga negara dalam pemilu yang juga menjadi serangkaian kegiatan membuat keputusan yakni memilih atau tidak, dan jika memilih apakah memilih kandidat X atau Y. Dapat disimpulkan bahwa perilaku pemilih merupakan tindakan seseorang untuk memberikan suara dalam pemilihan umum. Namun yang menjadi catatan dalam pembahasan ini adalah mengapa seseorang memilih partai tertentu atau kandidat tertentu dan bukan partai lainnya atau kandidat lainnya. Termasuk perilaku pemilih yang berakibat kepada sah tidaknya surat suara.
Menarik untuk mencermati perilaku pemilih pada pemilu 2019 guna menjawab beberapa pertanyaan yang muncul seperti yang tersebut diatas, termasuk pertanyaan besar kenapa ada beberapa jenis pemilihan surat suara tidak sah nya tinggi dan ada yang rendah. Selama melaksanakan sosialisasi pemilu 2019 di Kota Salatiga penulis menemukan beberapa respons dari pemilih. Di antaranya adalah merespons hal-hal teknis seperti tata cara mencoblos, bentuk surat suara, ketentuan pindah lokasi memilih, maupun yang berkaitan dengan serangan hoaks seputar pemilu.
Tentang limà surat suara yang akan diterima pemilih di TPS, kebanyakan calon pemilih sudah tahu, hal ini karena Kota Salatiga secara administrative adalah Kota dan secara geografis tak begitu luas dan ada di Kawasan perkotaan sehingga akses informasi relatif terjangkau dan merata.
Terkait kesulitan mencoblos, tentu ini bisa dianalisis dengan beberapa surat suara yang bentuknya mirip satu dengan yang lainnya. Bentuk surat suara untuk pemilihan presiden dan wakil presiden mirip dengan surat suara DPD. Perbedaan hanya pada jumlah calon, karena keduanya memuat nama calon, nomor urut dan juga foto calon. Tetapi di Kota Salatiga, ada perbedaan yang sàngat mencolok persentase surat suara tidak sahnya. Untuk surat suara pemilihan presiden dan wakil presiden 2,15 persen, sedangkan pemilihan DPD 24,10 persen. Surat suara DPR RI, DPRD provinsi dan DPRD Kota Salatiga secara bentuk dan ukuran surat suara relatif sama. Namun ada persentase surat suara tak sahnya bersisih cukup jauh. Surat suara tidak sah DPRD Kota Salatiga hanya 4.65 persen, tetapi DPRD provinsi dan DPR RI masing-masing mencapai 13,53 persen dan 16,69 persen.
Gambaran di atas menunjukkan tingginya persentase surat suara tak sah bukan karena persoalan teknis seperti kesulitan tata cara mencoblos, tetapi lebih kepada sikap politik pemilih yang diimplementasikan dalam bentuk pilihan yang mengakibatkan surat suaranya sah atau tidak sah. Ketika menerima lima surat suara di TPS, pemilih lebih tertarik atau sudah mempunyai pilihan politik terkait pemilihan presiden dan wakil presiden serta pilihan untuk DPRD Kota Salatiga, sehingga pilihan/coblosannya di surat suara secara teknis benar (sah). Sebaliknya untuk pemilihan DPR RI, DPRD provinsi dan DPD, pemilih belum jelas pilihan politiknyà, sehingga kecenderunganya secara teknis-prosedural mencoblos dengan salah (tak sah).
Kesenjangan Komunikasi
Untuk menjelaskan fenomena ini, penulis merujuk teori perilaku pemilih (voting behavior). Konsep dasar perilaku pemilih adalah, dalam memberikan suaranya, pemilih mendasarkan pada faktor sosiologis, psikologis dan rasional.
Pertama, faktor sosiologis. Latar belakang pilihan atas partai, calon dan isu ditentukan oleh karakteristik sosial pemilih, misalnya agama, etnis atau kedaerahan. Seseorang akan memilih partai atau tokoh tertentu karena ada kesamaan karakteristik sosial antara pemilih dan karakteristik sosial tokoh atau partai yang dipilih. Catatan penulis, ada kesenjangan komunikasi antara pemilih di Kota Salatiga dengan calon anggota DPD. Tidak ada kedekatan secara sosiologis antara pemilih dengan kandidat. Dari 20 calon anggota DPD, hanya ada satu calon yang berasal dari Kota Salatiga.
Ruang komunikasi, interaksi dan sosialisasi sepanjang tahapan kampanye di untuk kandidat anggota DPD di Kota Salatiga juga sangat minim. Alat Peraga Kampanye (APK) yang dicetak dan difasilitasi oleh KPU banyak yang tidak dimanfaatkan oleh calon DPD. Alih-alih memasang, banyak yang tidak mengambil APK di kantor KPU. Dari 20 APK yang dicetak, hanya sembilan calon anggota DPD yang mengambil APK di KPU Kota Salatiga.
Hal serupa juga terjadi pada para calon anggota DPRD provinsi dan DPR RI yang sangat minim bersosialisasi dan terjun ke masyarakat. Berbeda dengan calon DPD yang bersifat perseorangan, calon DPR RI dan DPRD provinsi masih diuntungkan dengan keberadaan partai politik yang ada struktur kepengursannya sampai ke daerah. Banyak yang bersosialisasi dalam kampanye sepaket dengan calon anggota DPRD Kota Salatiga. Meskipun demikian masih tinggi surat suara tidak sahnya.
Kedua, faktor psikologis. Pendekatan psikologis melihat perilaku pemilih sebagai bentukan dari proses sosial yang melahirkan ikatan emosional (identifikasi) sehingga mengarahkan tindakan politik seseorang dalam suatu pemilihan. Pilihan yang sudah terbentuk secara sosiologis membentuk persepsi dari diri yang bersangkutan bahwa partai atau figur tertentu juga diidentikkan dengan kelompok atau segmen sosial yang sama dengan diri mereka.
Faktor ini menitikberatkan pilihan seseorang karena ketokohan partai atau figur yang akan dipilih. Terhadap calon yang jumlah surat suara tidak sahnya tinggi (pemilihan DPD, DPR RI dan DPRD provinsi), dinilai kurang dekat di mata pemilih. Hal ini di antaranya karena rendahnya frekuensi sosialisasi pada masa kampanye sehingga kurang dikenal oleh pemilih.
Ketiga, faktor rasional. Pemilih dalam menentukan pilihan didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang rasional. Pemilih berusaha mendapatkan keyakinan atas pertimbangan yang akurat dan valid dari tawaran program yang diusung partai atau calon. Pemilih yang rasional memiliki motivasi, prinsip, pengetahuan dan mendapatkan informasi yang cukup. Tindakan mereka bukan dipengaruhi unsur kebetulan dan kebiasaan, bukan pula untuk mendasarkan pada kepentingan pribadi melainkan kepentingan umum. Karaketristik pemilih rasional adalah logis dalam mengambil tindakan.
Analisis ini mengacu pada kurangnya pendekatan kandidat kepada pemilih dalam menyampaikan misi dan visi yang diusung. Kedekatan dan intensitas interaksi antara kandidat anggota DPD, DPR RI, dan DPRD provinsi dengan basis-basis pemilih sangat minim di Kota Salatiga, sehinggi sulit bagi pemilih untuk mengenali, apalagi mencerna visi-misi yang ditawarkan sehingga berimbas pada tindakan pengambilan keputusan untuk memilih.
Tingginya angka surat suara tak sah pada pemilihan anggota DPD, DPR RI, dan DPR Propinsi di Kota Salatiga, menurut penulis tidak di latarbelakangi faktor teknis, kesulitan mencoblos surat suara. Dengan pendekatan sosiologis, psikologis dan rasionalis, banyaknya surat suara tidak sah itu lebih karena pemilih belum punya pilihan terhadap kandidat tersebut. Pemilih banyak yang belum mempunyai pilihan sampai pada detik pemungutan suara di TPS. Ini lantas diimplementasikan dalam sikap politik yang mengakibatkan surat suara dari tiga jenis pemilihan tersebut banyak yang tidak sah.
Abd. Rohim, S.Sos Penulis adalah Komisioner KPU Kota Salatiga Divisi Sosialisasi, Partisipasi Masyarakat, Pendidikan Pemilih dan SDM